Thursday, 20 April 2017

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak



Ilmu akhlak sebagaimana ilmu yang lain juga mengalami pertumbuhan dan juga perkembangan pada setiap masanya. Banyak pertanyaan mengenai kapankah mulai dibicarakannya imu akhlak? Siapa yang mengembangkan ilmu tersebut? dan sudah sejauh manakah perkembangannya hingga saat ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus kembali kezaman dimana ilmu tersebut belum tercipta.
1.     Ilmu Akhlak Di Luar Agama Islam
Yang pertama adalah akhlak pada bangsa Yunani. Pada masa Yunani, pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak dimulai setelah munculnya paham Sophisticians, yaitu orang yang bijaksana, yaitu pada masa 500-450 sebelum Masehi. Sebelum masa tersebut bangsa Yunani tidak membicarakan ilmu akhlak, karena mereka memfokuskan diri untuk mengkaji tentang ilmu alam.
Dasar yang digunakan oleh para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak yaitu pemikiran filsafat merreka tentang manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak pada bangsa Yunani didasari oleh pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan bangsa mereka.
Bangsa Yunani menyebutkan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatkannya adalah ilmu akhlak yang berdasarkan pada logika murni.
Sejarah menyebutkan bahwa Socrates merupakan perintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama kali dengan sungguh-sungguh berusaha membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Socrates menyebutkan bahwa akhlak yang paling utama yaitu ilmu itu sendiri. Maksudnya adalah akhlak yang paling utama adalah berilmu, dan akhlak yang paling tercela adalah bodoh. Alasannya adalah karena orang yang bodoh tidak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang lain. hal ini dikemukakan oleh Ibn Sina, yaitu salah satu tokoh filsafat islam yang terkemuka.
Setelah Socrates, muncul dua golongan yang mengaku sebagai pengikutnya. Golongan tersebut yaitu golongan Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes (444-370 SM). Menurut golongan ini, ketuhanan itu bersih dari kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah yang berperangai ketuhanan. Sedangkan golongan kedua, Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang lahir di Cyrena. Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurut mereka, yang memiliki tingkat kelezatan yang lebih tinggi merupakan sesuatu yang lebih utama.
Kedua golongan tersebut membicarakan hal yang sama, yaitu perbuatan baik, utama dan mulia. Namun kedua golongan ini memiliki tolok ukur yang berbeda. Jika golongan Cynics memusatkan diri kepada Tuhan, maka golongan Cyrenics memusatkan diri kepada manusia.
Setelah Socrates, muncul Plato yang juga murid dari Socrates. Pandangan Plato terhadap akhlak didasarkan pada teori contoh. Menurut Plato, apa yang terdapat pada lahiriah sebenarnya telah ada contohnya terlebih dahulu, sehingga yang lahiriah atau yang tampak ini hanyalah bayangan dari contohnya yang tidak tampak (alam rohani atau alam idea).
Setelah Plato, muncul muridnya yang bernama Aristoteles yang berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki manusia adalah kebahagiaan. Jalan untuk meraih kebahagiaan ini menurutnya adalah dengan menggunakan akal dengan sebaik-baiknya. Aristoteles merupakan seseorang yang membawa teori pertengahan. Dia berpendapat bahwa setiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara dua keburukan. Contohnya adalah dermawan merupakan tengah-tengah dari boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah dari membabi buta dan takut.
Demikian penjelasan tentang sejarah ilmu akhlak pada masa Yunani. Keseluruhan pendapat para pemikir yunani tesebut dapat kita ikuti sepanjang pendapat tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah.
Yang kedua yaitu perkembangan akhlak pada agama Nasrani. Agama ini mulai tersebar di kalangan eropa pada akhir abad ke tiga Masehi. Ajaran agama ini membawa pokok-pokok  ajaran akhlak yang bersumber dari kitab Taurat dan Injil. Agama ini berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang membentuk dan menentukan patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat.
Menurut agama Nasrani sesuatu dikatakan baik jika hal itu disukai oleh Tuhan dan kita harus berusaha melakukannya dengan sebaik-baiknya pula. Selain itu agama Nasrani mengatakan bahwa yang mendorong perbuatan baik adalah cinta dan juga iman kepada Tuhan  yang bersumber pada petunjuk yang ada di kitab Taurat. Kemudian agama Nasrani menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dominan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan hawa nafsu syahwat. Oleh karenanya kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia yang fana, beribadah, zuhud dan hidup menyendiri.
Yang ketiga yaitu akhlak pada bangsa Romawi (abad pertengahan). Pada masa ini, kehidupan masyarakat dikuasai oleh gereja. Segala sesuatu yang bertentangan dengan gereja akan mereka buang jauh-jauh. Jika ada yang menentang doktrin dari gereja, maka mereka akan dihukum. Banyak para ahli filsafat yang pemikirannya berbeda dengan gereja yang dihukum mati pada saat itu. Hanya pemikiran filsafat yang sejalan dengan gereja yang boleh dipakai.
Ajaran akhlak pada abad pertengahan ini adalah perpaduan antara ajaran Yunani dan Nasrani. Diantara tokohnya adalah Aberald yang berasal dari Prancis dan Thomas Aquinas yang berasal dari Italia. Keduanya adalah para ahli filsafat yang menggabungkan pemikiran filsafat mereka dengan pemikiran agama.
Yang keempat yaitu akhlak pada bangsa Arab Pra-islam. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab tidak memiliki pemikir dalam bidang filsafat yang dapat mempengaruhi pemikiran mereka. Ajran akhlak yang ada pada bangsa Arab pra-islam hanya ada pada syair-syair yang dikarang oleh para ahli syair dan juga ahli hikmah. Karena pada masa ini, bangsa Arab hanya memiliki para ahli hikmah dan penyair.
Ajaran akhlak pada bangsa Arab saat itu dapat dijumpai dalam syair dan kata hikmah yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, serta manghindari perbuatan tercela dan hina. Hal ini dapat ditemukan dalam kata-kata hikmah yang ditulis oleh Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi dan dalam syair karangan Zuhair bin Abi Sulma dan Hakim al-Thai.
2.     Akhlak Pada Agama Islam
Ajaran akhlak menemukan bentuk yang absolut dalam ajaran agama islam. Ajaran islam memusatkan ajaran akhlak kepada Tuhan dan juga akal manusia. Artinya ajaran ini merupakan penggabungan antara ajaran Cynics dan Cyrenics dalam hal ukurannya. Ajaran akhlak dalam islam bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dari Rasulullah SAW. Dalam al-Quran dijelaskan mengenai konsep akhlak yang terpuji dan tidak bertentangan dengan akal manusia.
Selanjutnya Al-Thabathabi mengatakan terdapat tiga jalan yang harus ditempuh manusia sesuai dengan kandungan dalam al-Quran. Yang pertama yaitu menurut petunjuk al-Quran, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Yang kedua perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Dan yang ketiga jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi dan dorongan hawa nafsu.
Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul Akhlak Tasawuf mengatakan bahwa akhlak dalam islam memiliki dua corak. Yang pertama akhlak yang bercorak normatif yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Akhlak model pertama ini bersifat universal dan absolut. Sedangkan yang kedua, akhlak yang bersifat rasional dan kultural yang didasarkan pada hasil pemikiran yang sehat serta adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang. Akhlak model kedua ini bersifat relatif, nisbi dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
3.     Akhlak Pada Zaman Baru
Zaman ini dimulai sejak akhir abad kelima belas Masehi. Pada masa ini, bangsa Eropa sudah mulai bangkit dari cengkeraman gereja. Peningkatan terjadi secara signifikan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Hal ini terjadi karena mereka sudah mulai melepaskan diri dari dogma kristiani, khayal dan mitos yang mulai diganti dengan peran akal pikiran yang lebih dominan. Mereka mulai bertindak dan berpikir secara liberal dengan cara meneliti, mengkritik dan memperbaharui segala hal yang tadinya sudah dianggap mapan.
Dalam bidang akhlak, patokan baik dan buruk yang tadinya berdasarkan pada dogma gereja mulai ditinggalkan dan diganti dengan berdasar kepada pandangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman empirik. Hal ini kemudian memunculkan etika dan moral yang berbasis pada pemikiran akal pikiran. Hal ini akan menimbulkan sifat yang individualis, mandiri dan inovatif pada masyarakatnya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan akhlak pada zaman baru tersebut cenderung kearah sekuler yaitu dengan cara memisahkan pandangan akhlak dari agama. Mereka memandang akhlak hanya bersumber dari pemikiran manusia saja. Tokoh-tokoh pemikir akhlak pada masa ini diantaranya adalah Descartes, Shafesbury dan Hatshon, Bentham, John Stuart Mill Kant dan Bertrand Russel.

No comments:

Post a Comment