Friday, 21 April 2017

Pemikiran Tokoh Aswaja Bidang Tasawuf : Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi

A.      DEFENISI TASAWUF

Secara etimologis pengertian tasawuf sendiri masih di perselisihkan oleh para ahli, karena adanya perbedaan pandangan mereka mengenai asal usul tasawuf itu sendiri. Ada sebagian para ahli mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaff yang artinya barisan dalam sholat berjamaáh. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shafwah yang berararti terpilih atau terbaik. Tasawuf itu sendiri ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa atau shafwu yang artinya bersih atau suci. Adapun pengertian tasawuf ada beragam pendapat yang disampaikan oleh para tokoh sufi. Bahkan imam as-Suhrowardi, tokoh sufi mengatakan : “ada lebih dari seribu pendapat yang disampaikan oleh toko sufi dalam mendefinisikan tasawuf”.
Perbedan dalam memaknai taswuf ini lebih disebabkan karena parah tokoh sufi dalam memberikan makna, disesuikan dengan pengalaman spiritualnya masing-masing.
1. TASAWUF  AL-JUNAIDI AL-BAGHDADI
Nama lengkapnya adalah abu Al-Qasim al-Junayd bin Muhammad bin al-junaid al-Khazzaz al-Qawariri al-nahawandi al-baghdadi, dia lahir dan wafat (297 H/910 M) dikota baghdad. Dalam bidang tasawuf selain berguru pada pamanya Sari Al-Saqathi, dia juga berguru kepada Al Harits bin Asaad  Al-Muhasibi (165-123 H/ 781-856 M), dan yang lainya. Menurutnya: “Tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlaq yang fitri, menekan sifat basyariya (kemanusiaan), menjahui hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberikan nasihat kepada umat , benar-benar menepati janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW”.
Al-Junaidi disepakati sebagai ulama yag brdiri  di persimpangan jalan. Semua kalangan menerima mazhab yang dibangunya.
Menurut sejarawan sebagian ulama, ada empat faktor yang mengantarkan madhzab al-junaidi menjadi standard dalam tasauf Ahlusunnah Waljama’ah sehingga al-junaidi menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar ” syaikh al-tha’ifah al-shufiyyah wa sayyiduha’’.
Keempat factor tersebut adalah :
1. Konsistensi Al-Kitab dan Sunnah
Penguasanya terhadap bidang studi ilmu al-quran, hadis dan fikih membawa pengaruh positif terhadaf  junaidi untuk mebangun mazhabnya diatas fondasi alquran dan sunnah. Diantara perkataan junaidi yang terkenal dan dijadikan kaedah oleh kalangan shufi adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan fundasi alkitabdn sunnah. Barang siapa yang belum hafal al-quran, belum menulis hadis dan belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf”.
2. Konsistensi tehadap syari’ah
Junaidi juga membangun tasawufnya diatas fondasi konsistensi terhadap syari’ah. Menurut junaidi seseorang yang melenceng dari sunnah rasul, maka pintu kebaikan akan tertup baginya.
3.Kebersihan dalam akidah
Al-Junaidi juga membangun mazhabnya diatas fondasi akidah yang besih yakni akidah Ahlussunnsh Wal-jamaah. Dalam hal ini junaidi mengatakan : “ pertama kali yang dibutuhkan oleh sseorang yang mendalami agama adalah mengenal pencipta kepada makhluk, mengenalkaan kepada yang baru bagaiman di menciptakanya, bagaimana pemulaan dirinya dan bagaimana pul setelah kematianya, sehingga dia dapat membedakan antara sifat sang khalik dari sifat makhluknya, mengesakanya dan mengakui akan kewajiban menaatinya.
4. Ajaran tasawuf yang moderat.
Al-Junaid membangun mazhabnya diatas fondasi ajaran moderat, yang meruphkan cirri khas ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam hadis dikatakan bahwa “sebaik-baik perkara adalah yang moderat”.
Jadi pada intinya, tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga kehadiran Alloh SWT. senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Menurut ajaran tasawuf, apabila seorang muslimin meningkatkan kualitas pendekatan dirinya kepada Allah SWT, lebih dahulu ia harus memahami syariat sebaik-baiknya. Dalam hal ini, harus mempelajari fiqh dalam segala bidangnya secara baik yang meliputi bidang ibadah, muamalah, pernikahan, warisan dan sebagainya ssesuai dengan yang telah dirumuskan dalam mazhab-mazhab fiqh,yaitu mazhab hanafi, mliki, syafi’i, dan hanbali.
Imam Malik bin anas (w. 179 H./795 M.) pendiri madzab Maliki, mengatakan: “Barang siapa yang menjalani kehidupan tasawuf tanpa dilandasi oleh pengalaman fiqih, maka ia akan menjadi zindiq (menyimpang dari agama yang benar), barang siapa yang melaksanakan fiqh tanpa dilengkapi pengalaman tasawuf, ia telah fasiq (banyak dosa), dan barang siapa yang melakukan keduanya secara seimbang, maka ia telah meraih hakikat kebenaran”.
Selain junaidi kemi juga mengutip defenisi tasawuf  menurut imam zakariya al-Anshori : “ Tasauf mengajarkan cara untuk menyucikan diri , meningkatkan akhlaq dan membangun kehidupan jasmani maupun rohani untuk mencapai kehidupan abadi ”.  Sesungguhnya islam secara utuh adalah mengikuti apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Serta mengimaninya. Dan ajaran-ajaranya melalui  para sahabat dan diteruskan oleh para tabi’in, selanjutnya para ulama-ulama generasi berikutnya sampai pada masa kita.
2. TASAWUF  AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al Thusi. Dia lahirkan di kota Thus, pada tahun 450 H/ 1058 M. Dalam ajaran tasaufnya, al-ghazali memilih tasawuf sunni yag berdasarkan Alquran dan As-Shunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahl-As-Sunnah  wa Al-Jama’ah. Dan tasawuf Al-Ghazali bercorak  psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.
Selain belajar tasawuf kepada syaikh Yusuf al-Nassaj(487 H/1094 M), beliau juga belajar tasawuf kepada Syaikh Abu Ali al-Fadhal bin muhammad bin Ali al Farmadzi(477 H/108 M), dan beberapa guru beliau yang lain. Ada tiga karangan Al-Ghazali yang menggambarkan corak intelektual dan sosok kepribadian Al-Ghazali, yaitu:
1. Al-Munqidz min Al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan)
2. Tahafut Al-Falasifah (runtuhnya para filosof)
3. Ihya’ Ulum Al-Din (menghdupkan ilmu-ilmu agama)

Menurut Al-Ghaszali jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain allah dan selalu mengingatnya. Dan ia berpendapat bahwa sosok yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih sebab, gerak,dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari chaya kenabian.



Dlalam tasawufnya Al-Ghazali  menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap syahahat mempunyi dua kelemahan yaitu:

 1. Syahahat mengatakan bahwa allah dapat disaksikan.

 2. Syahahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil  imajinasi sendiri.



Al-Ghozali juga menolak paham hulul dan ittihad. Untuk mengantisipasi itu ia mengeluarkan paham baru tentng ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada allah tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moral. Menurut Al-Ghazali ma’rifat adalah mengetahui rahasia allah dan mengetaui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada.

Dan begitu juga dalam memahami  As-Sa’adah (kebahagian) dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa kebahagian itu sesuai denagn watak, sedangkan watak sesuai degan ciptaanya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga ketika bisa mendengar suara yang bagus dan merdu. Demmikian juga dengan seluruh anggota tubuh , mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan kalbu sebagai alat ntuk memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat allah. Melihatn-Nya merupakan kenikmatnan yang paling agung dan tiada taranya.

Ada dua hal pokok tentang inti tasawuf yang disepakati semua pihak, yaitu:


1.          Kesucian jiwa untuk menghadapi allah SWT yang maha suci.
2.          Upaya pendekatan diri kepada Allah SWT.


No comments:

Post a Comment